Entri Populer

Jumat, 06 Januari 2012

Makalah Ilmu Ddakwah

Tugas Individu
ILMU DAKWAH
( Kode Etik Dakwah Serta Dakwah Mengajak dan Menghakimi )







N a m a : Khairil Kalamunting
N I M : 10.4.10.0479
Jur/Prodi : Dakwah / KPI
Semester : III (tiga)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN DATOKARAMA PALU
TAHUN 2011
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR…………………………………….…………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………...……ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………..1
BAB II. PEMBAHASAN
A. Kode Etik Dakwah……………………………..……………….2
B. Dakwah Mengajak………………………………...…………….7
C. Dakwah Menghakimi…………………………………………..10
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA






KATA PENGANTAR

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt.Berkat Rahmat dan Karunianyalah sehingga kami penulis dapat menyelesaikan makalah ini.Shalawat serta salam tetap kita haturkan kepada Baginda kita Rasulullah Saw ytang senantiasa istiqomah dalam menjalankan tugas kenabiannya dan dalam mengajarkan sunnah – sunnahnya.
Dengan di terbitkannya makalah ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami secara mendalam tentang hal – hal yang berkaitan dengan materi yang dikajikan dalam “Kode Etik Dakwah Serta Dakwah Mengajak dan Menghakimi” dan harapan kami para mahasiswa mampu memiliki kepribadian yang sesuai dengan norma – norma agama apa lagi kita sebagai agama muslim yang harus berpedoman pada Al – Qur’an.
Kami selaku penulis makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekeliruan dalam penulisannya olehnya kami sangat mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca yang sifatnya membangun.Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,utamanya bagi para pembaca.
Amiiin………!!!
HORMAT KAMI
P E N U L I S



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Adalah suatu fakta bahwa dakwah merupakan lapangan yang sangat penting baik dilihat dari pandangan agama maupun dari segi pertumbuhan bangsa yang sedang membangun. Makin banyak masyarakat membicarakan pembangunan makin terasa sekali bagaimana ketergantungannya pada manusia, faktor insan yang amat menentukan, apakah akan berhasil atau tidak. Sekian baik rencana dan cukup matang pengolahannya namun bergantung pula pada manusia yang akan melaksanakannya sedang manusia itu adalah unsur mutlak yang tidak dapat dinilai dari sekedar ratio dan tenaga saja tetapi juga dari segi rohani dan dhamirnya juga.
Dalam hal ini Agama islam memberikan sumbangan yang amat berharga karena mengandung ajaran-ajaran yang sangat diperlukan oleh bangsa yamg sedang membangun, islam cukup mempunyai manhaj untuk membangun manusia yang akan melaksanakan pembangunan itu melalui keteladanan seorang rasul Muhammad saw.
Berikut ini kami akan menguraikan sedikit tentang apakah yang telah rasul lakukan sehingga dunia begitu kagum dengan keberhasilannya merubah umat dari tempat yang gelap menuju kepada masa yang penuh dengan kemajuan-kemajuan.Insya Allah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kode Etik Dakwah
Karena dakwah merupakan upaya untuk mempengaruhi orang lain, maka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik bagi da’i sendiri maupun pihak yang didakwahi, dakwah nabi saw mengenal adanya aturan-aturan permainan yang dikenal dengan etika dakwah atau kode etik dakwah. Sebenarnya secara umum etika dakwah adalah etika islam itu sendiri, dimana seorang da’i sebagai seorang muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari prilaku yang tercela. Namun secara khusus dalam dakwah terdapat etika sendiri seperti dicontohkan nabi saw berikut ini:

1. Tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan
Dalam menjalankan dakwah Rasulullah saw tidak pernah memisahkan antaera apa yang beliau katakana dengan apa yang beliau kerjakan. Artinya apa yang beliau perintahkan beliau mengerjakannya, dan apa yang beliau larang beliau meninggalkannya. Misalnya dalam hal perintah beliau untukn shalat, beliau bersabda shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
Dengan demikian para shahabat tidak merasa kesulitan dalam melaksanakan perintah nabi saw karena mereka telah melihat pergaan praktis dari perintah yang beliau ucapkan. Misalnya hal yang berkaitan dengan masalah kewanitaan, beliau tidak mengerjakannya dan sebagai gantinya biasanya salah seorang istri beliau memberikan contoh.
Misalnya ketika beliau kedatangan seorang wanita anshar yang bertanya tentang cara membersihkan bekas haid. Beliau kemudian mengatakan” ambillah kain yang empuk dan berilah wewangian. Kemudian tekan-tekanlah kain itu” namun nampaknya wanita belum paham dengan jawaban nabi tadi. Sampai ia menanyakan kembali berkali-kali . akhirnya aisyah menerangkan secara rinci dan jelas bagaiman cara membersihkan bekas-bekas darah haid itu.
Etika dakwah seperti ini merupakan suatu keharusan bagi para da’I. tanpa hal itu sulit rasanya dakwah mereka dapat berhasil. Allah sendiri mengecam orang-orang yang hanya pandai berbicara tetapi tidak pernah melakukannya.

                  

Hai orang-orang yang beriman mengapa kalian mengatakan hal-hal yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan ( al-shaf 2-3 )


2. Tidak melakukan toleransi agama

Toleransi memang dianjurkan oleh islam tetapi dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama atau aqidah. Dalam hal ini islam memberikan garis tegas tidak bertoleransi, kompromi dan sebagainya . Ketika nabi masih tinggal di mekkah orang-orang musyrikin mencoba mengajak beliau untuk melakukan kompromi agama, kata mereka “wahai Muhammad ikutilah agama kami maka kamipun akan mengikuti kamu, kamu menyembah tuhan-tuhan kami selama satu tahun nanti kami akan menyembah tuhan kamu selama satu tahun juga”.Mendengar ajakan itu nabi berkata “saya mohon perlindungan Allah agar tidak mempersekutukanNYA dengan yang lain” kemudian turun surat alkafirun yang intinya orang islam tidak diperkenankan menyembah sesembahan orang-orang kafir


3. Tidak mencerca seembahan

Pada waktu nabi masih di mekkah orang musyrikin mengaatakan bahwa beliau dan para pengikutnya sering meghina dan mencerca berhala sesembahan mereka akhirnya secara emosional mereka mencerca Allah sesembahan nabi. lalu Allah menurunkan ayat yang berbunyi :

dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan ( al-An’am )

4. Tidak melakukan diskriminasi

Dalam menjalankan tugas dakwah nabi tidak diperkenankan melakukan diskriminasi sosial antara orang yang didakwahi beliau tidak diperkenankan lebih mementingkan orang-orang kelas elite saja sementara orang kelas bawah dinomorduakan. Berikut ini adalah contoh dimana nabi dikritik oleh Allah ketika beliau kurang memperhatikan orang yang dari kelas bawah yang bernama Ummi Maktum ketika nabi sedang menerima tamu yang terdiri dari para pembesar quraisy, maka Allah menegur beliau dengan menurunklan surat abasa 1-2
Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya

5. Tidak memungut imbalan

Suatu hal yang sangat penting dalam dakwah saw maupun nabi-nabi sebelumnya beliau tidak pernah memungut imbalan dari pihak-pihak yang didakwahi beliau hanya mengharapkan imbalan dari Allah saja, sikap beliau ini berdasarkan perintah Allah sebagai berikut
                   
Katakanlah upah apapun yang aku pinta kepadamu maka hal itu untuk kamu karena aku tidak minta upah apapun kepadamu upahku hanya dari Allah Dia maha mengetahui segala sesuatu (as- Saba 47)

6. Tidak mengawani pelaku maksiat

Dalam menjalankan dakwah ternyata Nabi saw tidak pernah berkawan, apalgi berkolusi dengan para pelaku maksiat. Hal ini bukan karena pada masa Nabi tidak ada orang yag berbuat maksiat, melainkan seperti itulah etika dakwah. Pada masa nabi ada orang yang berbuat maksiat misalnya ketika seorang shabat bernama Martsad bin abu Martsad hendak menikahi seorang wanita bernama Anaq dan wanita ii diketahui sebagai pezina, Nabi saw melarang martsad menikahi wanita tersebut.
Berkawan dengan pelaku maksiat akan bersdampak serius, karena pelaku maksiat tadi akan beranggapan bahwa perbuatannya itu direstui o;eh da’i yang menikahinya. Ini tentu saja selama oelaku maksiat tadi masih tetap berprofesi dengan kemaksiatannya, tetapi apabila ia sudah meninggalkannya kemudian bertaubat tentu masalahnya akan lain. Nabi muahammad saw mengatakan bahwa para ulama atau da’i yng bersahabat dengan para pelaku maksiat akan dilaknat oleh Allah swt sebagaimana yang pernah terjadi pada bani israil laknatullah ‘alihim. Beliau mengatakan ini dalam hal menafsiri firman Allah surat Al-maidah 78-79 sebagai berikut:
                •  
           
Telah dilaknati oleh Allah orang-orang kafir dari bani israil dengan lisan Daud dan Isa bin Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu malampaui batas. Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereka lakukan itu.

7. Tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui

Seorang da’i adalah penyampai ajaran islam sementara ajaran itu berisi hal-hal tentang halal haram dan sebagainya. Da’i yang menyampaikan suatu hukum sementara ia tidak mengetahui hukum itu pastilah ia akan menyesatkan orang lain. Ia lebih baik mengatakan tidak tahu atau wallahu ‘alam apabila ia tidak tahu jawaban suatu masalah. Ia juga tidak boleh asal menjawab dan hanya menurut seleranya sendiri, karena masalah yang ditanyakan pada da’i tentulah masalah keagamaan yang harus ada dalilnya baik dari Al-quran atau hadits Dalam hal ini Allah menegaskan:

        •         
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya ( Al- isra 36 )

B. Dakwah Mengajak
Dakwah itu menyerukan kebenaran dan kebaikan. Namun tidak akan menjadi kebaikan ketika melaksanakannya menggunakan cara yang tidak baik, melukai hati orang lain, maupun kata-kata yang kasar. Karena hal itu malah ibarat menggunting persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah). Berikut adalah penuturan kami dari berbagai wacana dan diskusi.
Latar belakang tulisan ini adalah fenomena banyaknya dai-dai dari sebuah jamaah yang senang sekali menyalah-nyalahkan dan dengan mudahnya membid’ah-bid’ahkan sesama kaum muslimin yang berbeda pendapat. Anak-anak muda yang baru belajar Islam, baru ikut ngaji sebulan-dua bulan sudah berani menghukumi saudaranya sesama muslim dengan “ini sesat!”, “itu bid’ah!”, “itu namanya khawarij!”, “itu fasik!”, dll. Yang lebih parah sampai mengkafir-kafirkan saudara sesama muslim.
Kami tertarik mengangkat masalah ini karena sudah hilangnya semangat ukhuwah Islamiyah yang ada diantara kelompok/jamaah-jamaah Islam.
Kalau dalam meraih kebangkitan Islam ini kita menghadapi musuh dari luar, itu suatu hal yang wajar. Sesuai dengan sunnah pertarungan antara haq dan yang batil. Namun kami merasa sangat prihatin jika musuh itu datang dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri. Tiap jamaah Islam yang satu dengan lainnya saling menjatuhkan. Padahal metode dakwah tiap jamaah Islam adalah ijtihad masing-masing jamaah, sesuai dengan penentuan sasaran, skala prioritas dan tahapannya.
1. Jenis-jenis Perbedaan dan Penyikapannya
Memang sikap dakwah yang mudah menghukumi, menyesat-nyesatkan, membid’ah-bid’ahkan, mengkafir-kafirkan kelompok lain yang berbeda seharusnya dihindari oleh umat Islam. Apalagi perbedaan itu hanya permasalahan yang bersifat cabang (furu’) dan bukan permasalahan yang prinsip (ushul). Padahal permasalahan cabang (furu’) terkadang hanya disebabkan perbedaan pemahaman terhadap dalil maupun pelaksanaannya. Sebagian besar ulama menganggap bahwa masalah yang masuk kategori cabang, mustahil mencapai ijma’ (kesepakatan jumhur ulama-red).
Oleh karena itu tak perlu kita menyikapi sampai dengan cara sekasar itu karena sikap kita untuk perbedaan dalam masalah furu’/cabang masih ditolerir. Sedangkan sering kita temui tuduhan-tuduhan yang kasar dan ‘berbahaya’ mulai yang ringan seperti tuduhan orang yang melakukan qunut subuh dianggap melakukan bid’ah, yang terawih 23 rakaat dianggap ahlul bid’ah, sampai yang parah sampai berkoar-koar mengkafir-kafirkan, menyesat-nyesatkan aktifis harakah, Ikhwanul Muslimin, MMI, PKS, bahkan Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh pun kecipratan cap ‘sesat’, juga saudara-saudara kita umat Islam lainnya yang tidak sefaham.
Dalam sebuah selebaran Jum’at pernah kami menemui artikel yang menyebut-nyebut pergerakan Islam di Palestina bernama HAMAS dengan sebutan ‘murtad HAMAS’, karena HAMAS dituduh memicu pertikaian antar sesama rakyat Palestina. Yang mereka sebut itu (murtad-red) otomatis termasuk juga para pemimpin muslimin di dalamnya dan termasuk juga Asy-Syahid Syeikh Ahmad Yassin dan Asy-Syahid DR. Abdul Aziz Ar-Rantisi yang mati-matian melindungi Masjidil Aqsha dari ancaman zionis Izrael. Apakah dakwah seperti ini yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam? Menuduh dan menghakimi tanpa kroscek dahulu yang bersangkutan tentang kebenarannya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membersihkan nama hambanya yang shaleh dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar.
Kalau perbedaan yang bersifat prinsip (ushul), tidak dapa ditolerir karena sudah merupakan kesepakatan penafsiran sejak zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan seluruh tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seluruh ulama Ahlus Sunnah sampai saat ini. Misalnya yang menyangkut Rukun Iman. Banyak juga golongan-golongan yang memiliki pemikiran menyimpang dalam masalah akidah yang sudah dikenal sejak masa sahabat, seperti Muktazilah, Khawarij, dan Syiah. Menghukumi prinsip menyimpang seperti itu dengan hukum sesat, sudah pasti disepakati oleh jumhur ulama sepanjang sejarah. Jadi sangat berbeda, sikap kita terhadap perbedaan yang hanya bersifat cabang (furu’) –seperti berbeda dalam hal mahzab fikih dan lain-lain- dengan masalah-masalah yang prinsip (ushul). Masalah prinsip lebih prioritas untuk kita sikapi dibanding masalah cabang, namun tetap dalam koridor penyikapan yang baik dan bersifat mendakwahi atau menasihati pada kebenaran.
C. Dakwah Menghakimi
Dakwah dengan menghakimi itu adalah dakwah paling mudah. Karena tanpa ilmu dan asal bicara saja sudah bisa jadi juru dakwah seperti itu. Namun bukan itu tujuan kita, karena tak ada satupun orang yang mau dihakimi ahlul bid’ah, sesat atau kafir. Bahkan orang-orang kafir pun (misalnya orang Kristen-red) tidak ada yang mau dituduh dengan kita mengatakan, “kamu itu kafir!”. Apalagi dalam hal ini yang dituduh saudara kita sesama muslim, yang mungkin ilmunya, kuantitas dan kualitas ibadahnya bisa jadi lebih baik dari yang menuduh sesat itu. Wallahu a’lam.
Banyak juga kelompok-kelompok yang mencela saudaranya sesama muslim dengan mebid’ah-bid’ahkan sikapnya dalam berdakwah melalui politik. Hingga begitu mudahnya menghukumi tanpa mengkroscek yang bersangkutan mengenai alasan-alasan dan dalil-dalil yang mereka jadikan hujjah hingga harus berbuat demikian.
1. Dalil-dalil Larangan Dakwah dengan Menuduh dan Menghukumi
Dalam seatu kesempatan, Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah (w. 1420 H) berkata, “Wajib atas penuntut ilmu dan ahlul ilmi untuk bernusnuhzh-zhan terhadap saudara mereka para ulama. Mereka juga harus berkata yang baik dan menjauhi perkataan yang buruk. Sesungguhnya para dai yang menyeru kejalan Allah ‘Azza wa Jalla itu mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat. Sehingga, yang seharusnya dilakukan oleh para penuntut ilmu (thullabul ‘ilmi) tersebut adalah membantu tugas mereka dengan cara berbicara yang baik-baik, dengan gaya bahasa yang santun, dan dengan sangkaan yang positif; tidak dengan cara yang keras dan kasar, tidak pula dengan cara mencari-cari kesalahan mereka dan menyebar-luaskannya untuk membuat orang lari dari sisi fulan dan fulan…”
Adapun Syaikh Al-Allamah Al-Faqih Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (w. 1423 H), ketika ditanya pendapat beliau tentang kebiasaan sebagian penuntut Ilmu yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, beliau menjawab, “Ini tidak boleh! Mencari-cari kesalahan kaum muslimin apalagi para ulama, adalah haram. Dalam hadits dikatakan, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya tetapi imannya tidak masuk kedalam hatinya; Janganlah kalian mencari-cari kesalahan mereka, karena sesungguhnya barangsiapa yang suka mengumbar aurat saudaranya, maka Allah akan membuka auratnya, sekalipun dia berada di pangkuan ibunya,” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad) yakni -sekalipun ia berada- di rumah ibunya. Oleh karena itu, kita tidak boleh mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan, mencari-cari kesalahan orang lain itu sendiri adalah merupakan suatu kesalahan…”





BAB III
KESIMPULAN

Pada dasarnya dalam hal menghukumi dan menuduh sikap umat Islam yang lain itu harus ‘super’ hati-hati. Memerlukan bukti yang sangat jelas, pengakuan dari yang bersangkutan serta memerlukan kesepakatan ulama tentang sikap tersebut. Ditambah lagi setiap persoalan tidak bisa dipukul rata dan dihukumi sama sesatnya, atau sama bid’ahnya.[adit]
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar